Bagaimanapun kondisi biologis dan jiwa orangtua, kasih sayang dan kelembutan adalah hak yang setiap hari didambakan anak * Anda memiliki waktu seumur hidup untuk bekerja, Namun anak-anak hanya memiliki masa kecil sekali * Jika anda bisa memberikan putra atau putrid anda sebuah hadiah, biarkanlah itu sebuah semangat *

Selasa, 10 Januari 2012

ANAK MATAHARI

-->
Ini hari pertama aku menjadi guru kelas. Mendebarkan. Disamping karena guru kelas memiliki tanggungjawab yang lebih besar , juga karena aku belum kenal sama sekali dengan siswaku.
Jam ke nol hari ini kumanfaatkan untuk berkenalan dengan siswa kelas III. Sebelum masuk kelas kurapikan pakaianku. Selanjutnya kubuka perkenalan hari itu dengan ucapan salam. Sepuluh menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai, aku memberikan kesempatan pada siswa yang ingin bertanya. Seorang siswa yang duduk paling depan mengangkat tangannya. Sebenarnya sejak masuk kelas tadi aku melihat kejanggalan pada anak ini, tapi aku tidak punya keberanian untuk memperhatikan secara saksama. Saat siswa ini bertanya, aku mendapat kesempatan untuk menemukan kejanggalan yang tadi kusimpan. Ya Allah ternyata anak ini memang tidak sesempurna temannya. Jari tangan dan kakinya tidak lengkap, tidak punya siku tangan dan kaki, tingginya pun tak ada satu meter. Tapi luar biasa Allah menitipkan jiwa percaya diri  padanya.
“Panggilannya siapa mas?” aku mendekat ke tempat duduknya.
“Ebi”
“Mas Ebi mau tanya apa sama bu guru?”
“Bu guru sudah berapa lama mengajar?”
“ Sebenarnya bu guru sudah enam bulan menjadi guru di yayasan kita. Sebelum mengajar di sini,  bu guru di tempatkan di sekolah cabang yang lain” terangku.
Nampaknya Ebi faham dengan jawaban yang aku berikan.
Hari Senin biasanya hari yang paling ditunggu-tunggu siswa di kelasku. Mereka berebut mengajukan diri menjadi petugas upacara. Tak terkecuali Ebi. Ekb mengajukan diri menjadi petugas pembawa pancasila.
“Luar biasa sekali anak ini. Pasti orang tuanya pun hebat” batinku senang. Aku tidak salah pilih, upacara hari ini berjalan lancar. Petugasnya penuh percaya diri, termasuk  Ebi. Ebi terlihat tak canggung meski memegang map dengan tangan yang tak sempurna.
Selain pandai dalam pelajaran bahasa Inggris, aku melihat Ebi berbakat dalam membaca puisi. Aku pernah meminta Ebi membaca puisi Bintang Berekor di depan kelas. Suaranya bagus. Aku bisa menangkap makna puisi yang dibacanya. Tak hanya itu, ketika mengucapkan kata hening seolah aku merasakan malam yang betul-betul sepi. Lalu melesatlah sebuah bintang berekor lanjutnya saat membaca puisi, membuatku membayangkan sebuah bintang berekor  yang tiba-tiba melesat di langit  gelap.
Suatu ketika Yayasan sekolah  kami mengadakan lomba mendongeng dan membaca puisi. Ebi antusias ingin mengikuti lomba itu. Kami tidak punya waktu khusus untuk latihan. Kami hanya meluangkan waktu 30 menit seusai pelajaran terakhir. Setiap hari, Ebi mengulang-ulang membaca puisi yang sama. Semakin mendekati hari H, Ebi semakin sungguh-sungguh mengasah kemampuannya. Aku menjadi semakin salut pada Ebi.
Hari yang kami tunggu-tunggu tiba. Sejak pagi aku mempersiapkan keperluan. Menitipkan tugas untuk kelas yang akan aku tinggalkan nanti.
“ Permisi, maaf Bu mengganggu” suara di pintu kantor mengagetkanku.
“Tidak apa-apa. Mari masuk”
“Ada yang bisa saya bantu.” Lanjutku.
“Maaf  Bu Rimi, Ebi tidak bisa mengikuti lomba puisi hari ini”
“Lho kenapa Bu?” aku agak kecewa
“Terus terang saya belum siap bu”
“Belum siap apanya?”
“Belum siap kalau harus melihat Ebi tampil di atas panggung”
Deg!! Aku faham apa yang dimaksud ibu ini. Sebelum Ebi tampil, beliau sudah ketakutan membayangkan reaksi ratusan orang yang hadir saat lomba nanti. Ratusan orang yang akan melihat ketidaksempurnaan fisik Ebi.
“Saya maklum dengan perasaan ibu. Tapi apa tidak sebaiknya mas Ebi tetap kita beri kesempatan” ujarku hati-hati.
“Apa yang ibu khawatirkan atau takutkan belum tentu terjadi” lanjutku. Aku diam sejenak menunggu reaksi lawan bicaraku.
”Mas Ebi punya modal, punya kemampuan, sayang sekali kalau tidak diberi kesempatan dan dukungan”.
Aku menghela nafas sejenak
“Anak lain belum tentu memiliki bakat seperti mas Ebi” lanjutku.
“Mohon ibu pertimbangkan sekali lagi. Atau mungkin ibu diskusikan dengan bapak dan mas Ebi” pungkasku.
Pra-acara sudah dimulai saat aku sampai di gedung utama yayasan sekolah kami. Lagu bertema anak-anak diputarkan. Pemberi sambutan sudah berganti untuk yang ketiga kali.  Aku masih menunggu Ebi, berharap saat acara dimulai nanti Ebi bisa datang untuk menuntaskan latihannya.
Tepat saat acara pokok dimulai Ebi datang beserta ayah dan ibunya. Perasaanku lega juga bahagia.  Ebi mendapat nomer urut 5, brarti masih ada waktu untuk istirahat sejenak. Ebi tampak senang melihat penampilan  teman-temannya. Tak ada rona grogi yang terpancar. Ia kelihatan larut mendengar intonasi yang berubah-ubah dari panggung sana.
Ebi bangkit tanpa ragu ketika namanya disebut pembawa acara. Dia butuh sedikit bantuan untuk naik di panggung yang agak tinggi. Kehidupan nelayan yang diangkat Ebi dalam puisi yang dibuatnya dua minggu lalu kini dibacakan di atas panggung.
Mereka bercanda
Suara tawanya ramai
Diseling hembus angin pantai
Ebi menutup puisinya kemudian membungkuk memberi hormat pada juri dan penonton. Wajahnya biasa, ia menikmati penampilannya. Sekali lagi aku salut dengan kemampuan Ebi dalam mengontrol emosi.
Ebi kembali ke tempat duduk. Ia hanyut menyaksikan penampilan teman-temannya. Sesekali  ia tampak tersenyum dan bertepuk tangan. Sampai penampilan nomer urut terakhir Ebi tidak beranjak dari tempat duduknya.
Pengumuman pemenang sebentar lagi disampaikan. Rasa deg-deganku semakin menyangat. Entah dengan Ebi. Apakah ia merasakan hal yang sama denganku. Untuk mengurangi beban, aku mengingat kembali niat awal mengajak Ebi mengikuti lomba ini. Aku tidak mengharapkan kemenangan, aku hanya berharap Ebi bisa menyalurkan bakat atau kemampuannya. Rasa berat di dadaku terasa sedikit berkurang. Ku tatap Ebi diseberang sana. Dekat sekali dengan tempat duduk para juri. Sikapnya tetap biasa. Seperti saat ia turun panggung tadi. “Ebi, kamu luar biasa” bisikku dalam hati.
Dewan juri terlihat mengendor dari diskusinya. Masing-masing beringsut ke tempat duduk. Seorang juri yang nampaknya akan menjadi jurubicara mempersiapkan diri. Beliau berdiri, merapikan pakain. Langkahnya yang tenang justru membuat perasaanku kembali deg-degan.
“Cek. Cek” pengeras suara di coba. Juri ini membetulkan sikap berdirinya.
“Bapak dan Ibu Guru serta anak-anak yang berbahagia. Saat ini kita sudah sampai di penghujung acara. Sebentar lagi pengumuman juara akan saya sampaikan. Mohon perhatiannya”. Seketika ruang lomba menjadi sepi. Perhatian terfokus pada apa yang akan disampaikan oleh juri.
“Juara I lomba puisi tahun ini diberikan kepada Ebi Suganda”. Sontak aku berdiri dari tempat duduk. Perasaan deg-degan yang berusaha ku pendam sejak tadi berubah menjadi kebahagian bak kembang api tahun baru. Meluncur deras, membentuk semburan sinar indah pada ujung perjalanannya. Sayup-sayup ku dengar dewan juri menyampaikan informasi tambahan.
“Disamping menjadi juara I, dewan juri memberikan penghargaan khusus kepada Ebi Suganda karena dari sekian peserta hanya Ebi yang menulis dan membaca puisi karya sendiri”. Kebahagian kami bertambah. Kami dengarkan pengumuman pemenang dan ikuti semua kegiatan sampai akhir  dengan suka cita.
Ebi  adalah matahari. Ia senantiasa memancarkan sinar percaya diri dan menularkannya pada orang-orang disekeliling.  Sinarnya tak pudar meski memiliki keterbatasan fisik.

2 komentar:

Rara Vivy K Ardhani mengatakan...

true story mba?? keren :))

Andi Kata mengatakan...

Sangat inspiratif.

andikata.blogdetik.com